Sabtu, 27 Juni 2015

Hakikat Manusia "Ludwig Feuerbach"

Konsep Proyeksi sang Filsuf Ateis: Ludwig Feuerbach                                                                                            


Feuerbach adalah sang bapa ateis modern yang kelak menginspirasi tokoh- tokoh atheis lain, seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Jean- Paul Sartre, dan Sigmund Freud.
MATERIALISME FEUERBACH
Filsafat Hegel menurut Feuerbach adalah “teologi tersamar”. Idealisme Hegel harus diputarbalikkan , karena bukan “roh” yang berkembang, melainkan materi. Hegel berpendapat bahwa yang nyata adalah Allah yang tidak kelihatan, sedangkan manusia hanyalah wayangnya. Padahal yang nyata adalah manusia. Bukan manusia pikiran Allah, tetapi Allah lah pikiran manusia. Bagi Feuerbach, manusia inderawi tidak bisa dibantah, sedangkan roh semesta hanya berada sebagai objek pikiran manusia. Feuerbach menolak gagasan idealisme Hegel juga karena menurutnya adanya alam dapat diketahui lewat pikiran, objek dapat diketahui lewat subjek yang sadar. Akan tetapi darimana munculnya kesadaran itu kalau tidak ada sesuatu yang disadari terlebih dahulu. Dengan kata lain, manusia sebagai subjek menyadari alam dengan cara membedakan dirinya dari alam itu. Artinya, alam adalah dasar bagi kesadaran. Feuerbach mengatakan bahwa alam adalah dasar bagi manusia. Dengan demikian Feuerbach merubah konsep ‘idea’, ‘roh’ dari Hegel menjadi alam material.
Yang disebut “Allah”, adalah suatu mimpi dari manusia. Kata “Allah” harus diganti dengan kata “hakekat manusia”. Agama harus diganti dengan politik. Karena manusia sudah terlalu lama diasingkan dari dirinya sendiri, sekarang, manusia harus dikembalikan kepada dirinya sendiri. Feuerbach tetap menghargai agama, tetapi hanya sebagai ajaran tentang manusia.
Feuerbach mengatakan dalam tulisan Hakekat Agama Masehi bahwa tugas filsafat itu: “mengubah sahabat- sahabat Tuhan menjadi sahabat- sahabat manusia, mengubah kaum beriman menjadi pemikir- pemikir, mengubah orang yang beribadat menjadi orang yang bekerja, mengubah calon- calon untuk surga menjadi murid- murid untuk dunia ini, mengubah orang Kristiani yang menamai dirinya sendiri ‘separuh malaikat, separuh binatang,’ menjadi manusia seratus persen.”
Perintah pertama dan utama adalah: Homo homini Deus est, “manusia adalah allah untuk sesama.” Kalimat ini bisa ditulis:” manusia itu allah untuk sesama”, karena makhluk paling luhur itu adalah manusia.
ALLAH ADALAH PROYEKSI AKAL BUDI MANUSIA BELAKA
Menurut Feuerbach, manusia tidak diciptakan oleh Allah, tetapi Allah diciptakan oleh manusia. Dalam proses ini ada tiga tahap:
  1. Manusia mengalami bahwa dia dapat bertanya terus- menerus, bahwa ia mempunyai kesadaran yang seakan- akan tak terhingga. Kesadaran dapat “memuat” apa- apa saja. Tidak pernah ditemukan batas- batasnya.
  2. “Ketakterhinggaan” yang mula- mula hanya suatu sifat dari kesadaran, akhirnya “dijadikan” sesuatu. Manusia menemukan ketakterhinggaan di dalam dirinya sendiri, dan itu kemudian dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, di luar manusia. “Ketakterhinggaan” mulai ditulis dengan huruf- huruf besar oleh manusia. “Ketakterhinggaan” dijadikan Allah.
  3. “Allah” ini, yang hanya merupakan ciptaan dari manusia, dihormati dalam kebaktian. Itu berarti bahwa manusia menjadi hamba dari ciptaannya. Manusia memandang dirinya sendiri sebagai ciptaan dari ciptaannya. Atau, ia telah memproyeksikan kebebasannya di luar dirinya sendiri, yaitu atas ciptaannya.
Menurut Feuerbach, manusia kehilangan sesuatu. Ia diasingkan, dialienasikan dari dirinya sendiri. Dan untuk menjadi sembuh dari penyakit alienasi, proses ini harus dibalikkan lagi. Manusia harus mengerti, bahwa Allah hanya merupakan ciptaan dari dirinya sendiri, sehingga ia bukan hamba lagi.
AGAMA BAGI FEUERBACH
Agama menurut Feuerbach merupakan suatu gambaran akan keinginan keinginan manusia yang tak terbatas, yang dibentuk oleh manusia tentang dirinya sendiri dan tidak lebih dari proyeksi hakikat manusia.
Agama itu hanya merupakan perwujudan cita- cita: “Ilusi religius yang terdiri dari suatu objek bersifat imanen pada pikiran kita menjadi lahiriah, mewujudkannya, mempersonifikasikannya. ”Atribut- atribut Ilahi merupakan perwujudan dari predikat- predikat manusiawi, yang tidak sesuai dengan individu manusia sebagai individu, Allah yang kekal, itulah akal budi manusia dengan coraknya yang bersifat mutlak yang sekali lagi merupakan hasil proyeksi manusia.
Kebijaksanaan, karsa, keadilan, cinta kasih, sekian banyak atribut kekal yang seluruhnya merupakan hakikat manusia yang sesungguhnya, dan yang (oleh manusia) diproyeksikan secara spontan di luar dirinya; ia mengobjektifkan hakikat itu dalam suatu subjek fantastis, suatu hasil khayalan semata- mata yang disebutnya Allah. Maka dari itu inteligibilitas tertinggi menjadi sesuatu yang “sungguh- sungguh terdapat di luar pikiran kita, di luar kita, dalam dirinya dan demi dirinya”.
Teori proyeksi dari Feuerbach diambil alih oleh Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre. Tetapi pendapat Feuerbach tentang peranan agama cukup berbeda dari pendapat mereka. Menurut Feuerbach agama mengajar betapa agung manusia. Semua mimpi manusia diberi bentuk dan nama dalam Allah.” Allah itu bukan asal manusia. Manusia justru asal Allah.
KRITIK ATAS TEORI PROYEKSI
  • Sekalipun Feuerbach memakai bermacam- macam dokumentasi, namun dia tidak pernah sungguh- sungguh mengajukan bukti tentang apa yang diakuinya secara tegas. ”Dokumentasinya tidak dipergunakan untuk membangun sesuatu, melainkan untuk mengilustrasikan beberapa tesis yang sudah ditetapkan lebih dahulu. Keputusannya sudah diambil sebelum ia mengangkat pena: agama itu hanya dapat berupa suatu ilusi belaka”.
  • Dia menggunakan gagasan agama dengan cara yang sama sekali tidak membeda- bedakan, dengan menggolongkan semua agama ke dalam ketegori teisme. Dia tidak berusaha untuk membedakan antara Allah menurut iman agama- agama monoteis dan dewa- dewa agama primitif. Dengan demikian, dia tidak menghormati realitas historis kenyataan religious.
  • Dia hendak kembali kepada manusia konkret. Tetapi sesungguhnya, dia hanya membahas manusia sebagai hakikat generik: objek sejati agama, menurutnya, bukanlah Allah, melainkan hakikat manusia ideal. Tentang hal ini Engels kemudian berkata,”kultus manusia abstrak merupakan pusat agama baru menurut Feuerbach.”
  • Adapun kepuasan- kepuasan yang dijanjikan oleh Feuerbach untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kebahagiaan mutlak bersifat khayalan saja. Feuerbach merampas individu konkret (satu- satunya yang bereksistensi) dari rasanya untuk yang mutlak. Dengan demikian, dia memperlihatkan dengan jelas bahwa, jikalau Allah ditolak, ditolak juga semua fundamen yang bisa mendasarkan nilai riil kepribadian manusiawi. Individu konkret tidak masuk hitungan lagi, sedangkan suatu abstraksi, yaitu manusia sebagai jenis, dianggap sebagai realitas yang benar serta sempurna dan mutlak.
  • Prinsip epistemologi yang salah: dia menyatakan sebagai prinsip umum bahwa satu- satunya objek pengetahuan manusia hanyalah kodrat manusia serta atribut- atributnya. Ketika manusia memikirkan “yang tak terbatas”, dia sebenarnya memikirkan ciri tak terbatas dari pikirannya sendiri. Objek akal budi manusia tidak lain daripada akal budi sendiri yang memikirkan dirinya; dan sama halnya dengan kemampuan- kemampuan lain: objek mereka masing- masing adalah mereka sendiri. “Seakan- akan tidak ada lagi objektifitas. Feuerbach mewakili suatu subjektivisme epistemologis yang tidak dapat dipertahankan. Dan subjektivisme ini dijadikan suatu dogma”.
  • Jika Atribut- atribut manusia sebagai hakikat generik itu tak terbatas, sebagaimana dikatakan Feuerbach, maka lalu bagaimanakah manusia memproyeksikan hal itu ke dalam suatu hakikat di luar jenis manusia, untuk mengubahnya menjadi suatu Allah-subjek? Dan jika pengasingan religius itu terikat pada hakikat manusia, maka bagaimanakah Feuerbach dapat menghindarinya?
Pada dasarnya, secara agak teologis, teori tentang dasar ajaran Ateisme yang dicetuskan oleh Feuerbach ini sungguh tidak melihat bahwa Allah memiliki kausalitas Ilahi yang khas dan bermurah hati, yang memberi kepada manusia kebebasan kreatifnya sendiri.
Dengan adanya pandangan pandangan tersebut tentunya dapat memberikan gambaran pada kita bagaimana subjektivitas dari Feuerbach yang dijadikannya sebagai dogma, walaupun pada kemudian hari dipakai oleh orang orang Ateis penerusnya, memiliki aspek aspek yang masih harus diperhatikan, maksudnya adalah konsep proyeksi Feuerbach ini jangan sampai diterima secara mentah tetapi kita harus melihatnya dengan kritis dan dalam kacamata filosofis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar